Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TANJUNG PINANG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2020/PN Tpg Yulya SATRES NARKOBA POLRES TANJUNG PINANG Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 16 Mar. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penahanan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2020/PN Tpg
Tanggal Surat Senin, 16 Mar. 2020
Nomor Surat 1
Pemohon
NoNama
1Yulya
Termohon
NoNama
1SATRES NARKOBA POLRES TANJUNG PINANG
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Kepada Yang Terhormat
Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Pinang
Di Tanjung Pinang

Hal : PERMOHONAN PRAPERADILAN
Dengan Hormat,
Yang bertandatangan di bawah ini :
Mulyadi, S.H., M.H.
Wahid Hasyim Febriadi, S.H.
Aulia Ramadhandi, S.H.
Kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada “EFFENDI SYAHPUTRA & PARTNER, beralamat di Gedung Menara Hijau Lt.5 Jl. MT Haryono Kav.33 Cikoko Pancoran Jakarta Selatan.
Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 25 Februari 2020, baik secara bersama-sama ataupun sendiri sendiri untuk dan atas nama YULYA.
Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON
SATRESNARKOBA POLRES TANJUNG PINANG yang beralamat di Jl. Sei Jang, Bukit Bestari, Tanjungpinang, Kepulauan Riau 29122 selanjutnya disebut sebagai TERMOHON
Adapun alasan-alasan PEMOHON dalam mengajukan PERMOHONAN PRAPERADILAN ini adalah sebagai berikut :
I.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

1.    Bahwa PERMOHONAN PRAPERADILAN ini diajukan berdasarkan Ketentuan Pasal 77 dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai berikut :
Pasal 77 KUHAP :
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentnag:
a.    Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
b.    Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya di hentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan…”
Pasal 79 KUHAP :
“Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan di ajukan oleh Tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”
II.    ALASAN PERMOHANAN PRAPERADILAN

1.    Bahwa pada tanggal 30 desember 2019 pihak kepolisian menelfon Pemohon untuk melakukan kunjungan ke tempat tinggal pemohon dengan tujuan berbincang-bincang.
2.    Bahwa Pada tanggal 1 januari 2020 malam tepat pukul 22.00, bertempat di Helvetia deli serdang, 3 orang anggota kepolisian tanjung pinang, 1 anggota kepolisian dari mabes Jakarta dan 1 lagi sipil selaku supir hadir ke tempat tinggal pemohon.
3.    Bahwa awal kedatangan pihak kepolisian melakukan dialektika yang sopan dan santun dengan pemohon dan Keluarga
4.    Bahwa 1 jam setelah melakukan dialektika, pihak kepolisian melakukan penekanan terhadap pemohonan untuk di beri informasi tentang keberadaan terpidanaAndi yang merupakan suami pemohon dan memeriksa seluruh alat komunikasi PEMOHON dan keluarga
5.    Bahwa kemudian pihak kepolisian meminta kepada Pemohon untuk memperlihatkan buku rekening. Buku rekening milik pemohon berada di kamar pribadinya.
6.    Bahwa Pemohon menuju ke kamar pribadinya untuk mengambil buku rekening yang di ikuti oleh 2 orang polisi yang ikut masuk kedalam kamar.
7.    Bahwa setelah memperlihatkan buku rekening dan kemudian pihak kepolisian mengarahkan Pemohon untuk keluar dari ruangan.
8.    Bahwa setelah Pemohon keluar dari ruangan 1 orang polisi masuk kedalam kamar pribadi pemohon tanpa izin dari pemohon mengarah kepada pintu yang menggantung baju baju.
9.    Bahwa setelah Pemohon berargumen mengenai masuknya pihak kepolisian, pihak kepolisian melakukan pencabutan CCTV pada rumah pemohon.
10.    Bahwa setelah dilakukan pencabutan CCTV, pihak kepolisian memanggil kepala lingkungan untuk meminta izin di lakukan penggeledahan
11.    Bahwa setelah mendapatkan izin penggeledahan pihak kepolisian langsung menuju kamar PEMOHON dan menggeledah baju yang di dalam selipan baju tersebut terdapat narkotika yang PEMOHON dan keluarga pun tidak mengetahui keberadaan narkotika tersebut
12.    Bahwa setelah di temukan narkotika tersebut polisi membawa PEMOHON dan anaknya secara paksa, Pihak Kepolisian juga ikut membawa 3 buah paspor atas nama PEMOHON dan Ricky Kurniawan dan ibu mertua PEMOHON, 2 buah BPKB sepeda motor, 3 unit HandPhone, buku tabungan PEMOHON, Kartu Keluarga, dan Akte Kelahiran PEMOHON dan Keluarga.
13.    Bahwa pada tanggal 2 januari PEMOHON dibawa dari medan menuju tanjung pinang
14.    Bahwa pada saat tiba ditanjung pinang pihak kepolisian tidak langsung melakukan BAP.
15.    Bahwa pada tanggal 3 januari Kasat Reserse Narkoba Polres Tanjung Pinang mengeluarkan surat pernyataan apabila PEMOHON menyerahkan suaminya kepada kepolisian maka perkara PEMOHON di hentikan.
16.    Bahwa setelah seminggu di tahan oleh pihak kepolisian proses BAP baru di laksanakan dan tanpa di dampingi oleh pengacara
17.    Bahwa pada tanggal 7 januari di keluarkan surat perintah penahanan atas nama PEMOHON yang di duga melakukan tindak pidana sebagaimana di maksud pada pasal 114 ayat (2) dan Pasal 112 ayat (2) UU RI nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan pasal 221 ayat (1) KUHP bersamaan dengan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Perpanjangan Penangkapan.
18.    Bahwa setelah di tahan selama 2 minggu Pemohon dan pihak keluarga menunjuk pengacara asal medan untuk mendampingi Pemohon selama berada pada polres Tanjung Pinang
19.    Bahwa Pihak pengacara melakukan upaya penangguhan penahanan kepada pihak kepolisian resort tanjung pinang cq. Kasat Narkoba polres tanjung pinang dengan jaminan anak dari Pemohon Dedy kurniawan dan uang sebesa Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
20.    Bahwa setelah upaya penangguhan penahan di terima, Pemohon di perbolehkan kembali ke Medan.
21.    Bahwa setelah 7 hari berada di medan pihak kepolisian kembali datang untuk menjemput Pemohon dengan alasan penangguhan penahanan telah selesai.
22.    Bahwa pada hari selasa tgl,18 Februari 2020 kami sebagai kuasa Pemohon sekitar jam 10.30 wib di New Hotel kota Batam bertemu dengan Termohon yang di hadiri langsung oleh Kasat NarkobaPolres Tnajung Pinang beserta dua anak buahnya, kami klarifikasi tentang Penangguhan penahanan yang agak aneh menurut hemat kami karena Cuma 7 hari dan kami juga menanyakan tentang jaminan uang sebesar RP.50.000.000 (Lima puluh juta rupiah) dikarenakan dari pihak Pemohon tidak pernah menerima tanda terima kwitansi atau yang lainnya.
23.    Bahwa Termohon yang di wakili oleh Kasat Narkoba Polres Tanjung Pinang akhirnya menjelaskan semua pertanyaan kami bahwasannya yang dilakukan pihak Termohon pada waktu itu bukanlah Penangguhan Penahanan melainkan Pemohon di Bon selama 7 hari di kerenakan kepentingan Pemohon untuk merayakan Imlek bersama keluarganya.


III.    PEMBAHASAN HUKUM

1.    Bahwa Pada tanggal 2 Januari setelah di lakukan penggeledahan dan penyitaan, Termohon langsung melakukan penangkapan terhadap PEMOHON tanpa Surat Perintah Penangkapan. Oleh karena itu, Tindakan Termohon tersebut telah melanggar ketentuan sebagai berikut :

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Pasal 18 :
“Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”

2.    Bahwa sebelum termohon melakukan penggeledahan, Termohon tidak pernah memberitahukan maksud dan tujuan yang sebenarnya. Oleh karena itu , tindakan Termohon tersebut telah melanggar ketentuan sebagai berikut :
a.    Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 33 Ayat (1) Huruf c :
“Dalam melakukan tindakan penggeledahan tempat / rumah, petugas wajib : (c). Memberitahukan penghuni tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan”;

Pasal 33 Ayat (2) Huruf c :
“Dalam melakukan penggeledahan tempat / rumah, petugas dilarang : (c). Tanpa memberitahukan penghuni tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan, tanpa alasan yang sah”;

b.    Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Managemen Penyidikan Tindak Pidana :

Pasal 59 Ayat (2) Huruf c :
“Penggeledahan terhadap rumah / tempat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), penyidik / penyidik pembantu wajib : (c). Memberitahukan penghuni tentang kepentingan penggeledahan”;
3.    Bahwa di samping tidak memberitahukan maksud dan tujuan, Termohon juga tidak pernah menunjukkan surat perintah tugas dan surat perintah penggeledahan,  oleh karena itu tindakan termohon tersebut telah melanggar Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut :

a.    Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 33 Ayat (1) Huruf d :

“Dalam melakukan tindakan penggeledahan tempat / rumah, petugas wajib : (d). Menunjukkan surat perintah tugas dan/atau kartu identitas petugas”;

b.    Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Managemen Penyidikan Tindak Pidana :

Pasal 59 Ayat (2) Huruf d :

“Penggeledahan terhadap rumah/tempat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), penyidik/penyidik pembantu wajib : (d). Menunjukkan surat perintah tugas dan surat perintah penggeledahan”;

c.    Sebagaimana pasal 33 KUHAP yang berbunyi :
(1)    Dengan sura ijin Ketua Pengadilan Negereri setemapat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengeledah rumah yang diperlukan.
(2)    Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3)    Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.
(4)    Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala Desa atau Ketua lingkungan dengan dua oang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
(5)    Dalam hal waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dbuat seatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.
Tidak menutup kemungkinan petugas kepolisian dapat melakukan penggeledahan tanpa melalui tahap sebagaimana diharuskan menurut pasal 33 KUHAP. Seorang petugas penyidiki melaksanakan sendiri dan dan dalam penggeledahan dilakukan dalam keadaan mendesak sebagaimana yang dijelaskan pasal 34 KUHAP akan tetapi tidak mengurangi ketentuan pasal 33 KUHAP, setelah dilakukan penggeladahan harus segera melaporkan dan meminta persetujuan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan membuatkan berita acara penggeledahan yang disampaikan kepada Pemohon sebagai pemilik Rumah. Jika hal ini diterapakan pada Pemohon memunculkan pertanyaan apakah Pemohon sebagai seorang buronan yang berbahaya. Mengutip pendapat Yahya Harahap hal 257 dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan yakni “...seyogyanya penggunaan pasal 34 harus dibatasi oleh penyidik. Hanya dipergunakan dalam keadaan tertentu yang benar-benar menuntut tindakan gerak cepat yang tidak dapat dihindari, terutama jika berhadapan dengan buronan dan pelaku tindak pindana yang sangat berbahaya.”  

4.    Bahwa hingga permohonan praperadilan ini kami ajukan, Pemohon belum pernah menerima Turunan Berita Acara. Tindakan Termohon tersebut telah melanggar ketentuan sebagai berikut :

a.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Pasal 33 Ayat (5) :
“Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan”.

b.    Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 33 Ayat (1) Huruf j :
“Dalam melakukan tindakan penggeledahan tempat/rumah, petugas wajib : (j). Membuat berita acara penggeledahan yang ditandatangani oleh petugas, pihak yang digeledah dan para saksi”.

Pasal 33 Ayat (2) Huruf  l :
“Dalam melakukan penggeledahan tempat/rumah, petugas dilarang : (l). Tidak membuat berita acara penggeledahan setelah melakukan penggeledahan”.

c.    Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Managemen Penyidikan Tindak Pidana :

Pasal 56 Ayat (1) :
“Setelah penggeledahan dilakukan, penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara penggeledahan yang ditandatangani oleh tersangka atau keluarganya atau orang yang menguasai tempat yang digeledah atau orang yang diberi kuasa”.

Pasal 59 Ayat (2) Huruf i :
“Penggeledahan terhadap rumah/tempat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), penyidik / penyidik pembantu wajib : (i). Dalam waktu paling lama 2 (dua) hari setelah memasuki dan / atau menggeledah, harus dibuat berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah / tempat lainnya yang bersangkutan”.

5.    PENANGKAPAN, PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN TIDAK SAH SECARA HUKUM KARENA MELANGGAR KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN

1.    Bahwa karena Termohon tidak melaksanakan prosedur-prosedur sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan, maka tindakan Termohon menunjukkan ketidakpatuhan akan hukum, padahal Termohon sebagai aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia in casu dalam kualitas sebagai Penyidik seharusnya memberikan contoh kepada warga masyarakat, dalam hal ini Pemohon dalam hal pelaksanaan hukum. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan sebagai berikut :
a.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal 19 ayat (1) :
“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia”.

b.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Pasal 7 ayat (3) :
“Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku”.

c.    Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal 8 ayat (1) :
“Sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati HAM, setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM, sekurang-kurangnya:
a.    Menghormati martabat dan HAM setiap orang;
b.    Bertindak secara adil dan tidak diskriminatif;
c.    Berperilaku sopan;
d.    Menghormati norma agama, etika, dan susila; dan
e.    Menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM”.

d.    Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal 10  :
“Setiap Anggota Polri wajib :

a.    Menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia;
b.    Menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di hadapan hukum;
c.    Memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat, mudah, nyaman, transparan, dan akuntabel berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.    Melakukan tindakan pertama kepolisian sebagaimana yang diwajibkan dalam tugas kepolisian, baik sedang bertugas maupun di luar tugas.
e.    Memberikan pelayanan informasi publik kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f.    Menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keadilan, dan menjaga kehormatan dalam berhubungan dengan masyarakat”.

2.    Bahwa Termohon dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan, telah tidak menunjukan kepatuhan terhadap hukum dengan tidak memberitahukan secara jelas maksud dan tujuan yang sebenarnya, padahal ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengatur sebagai berikut :

Pasal 33 ayat (2) :

“Dalam melakukan penggeledahan tempat/rumah, petugas dilarang :
a.    tanpa dilengkapi administrasi penyidikan;
b.    tidak memberitahukan ketua lingkungan setempat tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan;
c.    tanpa memberitahukan penghuni tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan, tanpa alasan yang sah;
d.    melakukan penggeledahan dengan cara yang sewenang-wenang, sehingga merusakkan barang atau merugikan pihak yang digeledah;
e.    melakukan tindakan penggeledahan yang menyimpang dari kepentingan tugas yang di luar batas kewenangannya;
f.    melakukan penggeledahan dengan cara berlebihan sehingga menimbulkan kerugian atau gangguan terhadap hak-hak pihak yang digeledah;
g.    melakukan pengambilan benda tanpa disaksikan oleh pihak yang digeledah atau saksi dari ketua lingkungan;
h.    melakukan pengambilan benda yang tidak ada kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi;
i.    bertindak arogan atau tidak menghargai harkat dan martabat orang yang digeledah;
j.    melakukan tindakan menjebak korban/tersangka untuk mendapatkan barang yang direkayasa menjadi barang bukti; dan
k.    tidak membuat berita acara penggeledahan setelah melakukan penggeledahan”.

6.    PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA

1.    Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
2.    Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
3.    “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
4.    Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
5.    Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. Berdasar pada Surat Perintah Perpanjangan Penangkapan yang menimbulkan tanda tanya karena sebelumnya tidak ada Surat Perintah Penangkapan yang pertama, terbit Surat Perintah Perpanjangan Penangakapan pada tanggal 5 Januari 2020 yang tidak benomor yakni SP.Kap/   /I/2020/Resnarkoba  untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, tidak pernah membuktikannya  bahwa Pemohon telah diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung ditangkap dan dilakukan penahanan telah diperiksa sebagai calon tersangka, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka.
6.    Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Direktorat Reserse Narkoba.

 

 

7.    PENETAPAN TERSANGKA TANPA PENYELIDIKAN DAHULU ATAS DIRI PEMOHON

1.    Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon setelah Pemohon dilakukannya penggeledahan, penangkapan dan penahanan sejak tanggal 2 Januari 2020 dan baru pada tanggal 7 Januari Termohon menerbitkan surat penangkapan dan penahanan berdasarkan Surat Perintah Perpanjangan Penangkapan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan 5 Januari 2020 yang tidak benomor yakni SP.Kap/   /I/2020/Resnarkoba. Bahwa apabila mengacu kepada surat penangapan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
2.    Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari pada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
3.    Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu  penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Termohon menunjukkan ketidak hati-hatian dalam menjalankan tugas bahwa mengenai bukti permulaan  
4.    Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.

Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dan penahanan dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum.

Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah keputusan apabila di hubungkan dengan tindakan hukum yang di keluarkan oleh Termohon kepada Pemohon dengan melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan penetapan tersangka dilakukan dan di tetapkan oleh prosedur yang tidak benar dan mengenyampingkan Peraturan Perundang-undangan, maka majelis hakim Pengadilan Negeri  Tanjung Pinang yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan secara hukum.

IV.    PETITUM

Berdasarkan fakta-fakta yuridis diatas. Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Pinang yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1.    Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya
2.    Menyatakan tidak sah segala tindakan Termohon yang berupa Penggeledahan, Penyitaan, Penangkapan, Penahanan dan Penetapan Tersangka terhadap Pemohon.
3.    Menyatakan tidak sah tindakan Termohon menetapkan tersangka kepada Pemohon.
4.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon.
5.    Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, keududukan dan harkat serta martabatnya di mata keluarganya dan masyarakat sekitarnya.
6.    Menghukum termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuanhukum yang berlaku.

ATAU
Jika Pengadilan Negeri Tanjung Pinang berpendapat lain mohon putusan yang seadil adilnya (ex aequo at bono).

HORMAT KAMI
Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum pada kantor hukum
Effendi Syahputra & Partner


Mulyadi, S.H., M.H.


Wahid Hasyim Febriadi, S.H.


Aulia Ramadhandi, S.H.

 

 

Pihak Dipublikasikan Ya