Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TANJUNG PINANG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
3/Pid.Pra/2019/PN Tpg 1.BOYAMIN Bin SAIMAN
2.KOMARYONO, SH
1.Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau
2.Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK
3.Kepala Badan pemeriksa Keuangan Perwakilan Prov. Kepulauan Riau
4.Kepala Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan Prov. Kepri
Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 28 Agu. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penghentian penyidikan
Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2019/PN Tpg
Tanggal Surat Rabu, 28 Agu. 2019
Nomor Surat 01
Pemohon
NoNama
1BOYAMIN Bin SAIMAN
2KOMARYONO, SH
Termohon
NoNama
1Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau
2Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK
3Kepala Badan pemeriksa Keuangan Perwakilan Prov. Kepulauan Riau
4Kepala Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan Prov. Kepri
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Jakarta, 28 Agustus 2019

Hal    : Permohonan Pemeriksaan Pra Peradilan Tidak Sahnya Penghentian Penyidikan Perkara Korupsi Tunjangan Perumahan DPRD Natuna


Kepada Yang Terhormat
Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Pinang
Di –
  Tanjung Pinang, Kepulauan Riau
    
Dengan hormat,

Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesai (MAKI) beralamat di Jl. Budi Swadaya 133, Kampungrawa Rt.02 Rw.04, Kelurahan  Kebon Jeruk, Jakarta Barat, HP. 081282822884  , yang dalam hal ini diwakili oleh :

1.    Nama    : Boyamin Bin Saiman
Pekerjaan : Swasta
Jabatan    : Koordinator Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia
Alamat    : Jl. Budi Swadaya 133 Kebon Jeruk, Jakarta Barat (08122611739)
2.    Nama    : Komaryono, SH.
Pekerjaan : Swasta
Jabatan    : Pendiri Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia
Alamat    : Jl. Budi Swadaya 133 Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Ketiganya berdasarkan Anggaran Dasar dan atau Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) sehingga sah dan berdasar hukum mewakili Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI);
selanjutnya mohon disebut sebagai ……………………………………...… PEMOHON;

Dengan ini mengajukan permohonan pemeriksaan praperadilan tidak sahnya Penghentian Penyidikan, melawan:

1.    Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Cq. Jaksa Agung Republik Indonesia cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau beralamat di Jalan Sungai Timun No.1, Senggarang, Kelurahan Air Raja, Kecamatan
Tanjungpinang Timur Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau 29122
untuk selanjutnya disebut sebagai …...........……………………... TERMOHON  I ;

2.  Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Negara Kesatuan Republik Indonesia yang beralamat di Jl. Kuningan Persada No.Kav No.4, RT.1/RW.6, Guntur, Kecamatan Setiabudi, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12950.  
selanjutnya mohon disebut sebagai ………………………..……… TERMOHON II;

3.     Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan RI cq. Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau beralamat di Jl. Engku Putri, Tlk. Tering, Kec. Batam Kota, Kota Batam, Kepulauan Riau 29461
           selanjutnya mohon disebut sebagai ……………….…… TURUT TERMOHON  I;

4. Pimpinan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan RI cq. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau beralamat di Jl. RE Martadinata, Tj. Pinggir, Kec. Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau 29425
           selanjutnya mohon disebut sebagai ………………………TURUT TERMOHON II;

Adapun yang menjadi dasar diajukannya Permohonan Pemeriksaan Pra Peradilan a quo adalah sebagai berikut :

I.    TUJUAN DAN WEWENANG PRAPERADILAN
1.    Berdasar Penjelasan Pasal 80 KUHAP ( bukan Pasal 80 KUHAP ) berbunyi :
“Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.”

2.    Berdasar Pasal 82 Ayat (1) huruf (b) berbunyi :
“b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang  disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang “;

3.    Berdasar Diktum Menimbang KUHAP :
Menimbang:
a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
b. bahwa demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan.Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978) perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan Nusantara;
c. bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para palaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
d. bahwa hukum acara pidana sebagai yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional;
e. bahwa - oleh karena itu perlu mengadakan undang-undang tentang hukum acara pidana untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana, sehingga dengan demikian dasar utama negara hukum dapat ditegakkan.

4.    Bahwa berdasar alasan Penjelasan Pasal 80 KUHAP dengan jelas menyatakan meskipun Praperadilan diatur dalam KUHAP yang bersifat formil namun justru tujuannya adalah materiel yaitu “menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran “ dan dengan jelas dapat dimaknai menegakkan hukum bukan sekedar demi kepastian hukum atau dapat dimaknai Kepastian Hukum adalah Kepastian Hukumyang Tegak berlandaskan keadilan dan kebenaran;\

5.    Bahwa frasa  “sarana pengawasan secara horizontal “ Penjelasan Pasal 80 KUHAP tentunya sangat jelas yang bisa melakukan pengawasan horizontal adalah Hakim Pemeriksa Praperadilan. Hal ini tidak ditemukan dalam system HIR ataupun Hukum Acara Persidangan Pokok Perkara Tindak Pidana, dengan demikian Hakim kedudukan, tugas dan wewenangnya sangat tinggi untuk melakukan control penuh atas dipatuhinya KUHAP dalam proses Penyidikan dan semua upaya paksa yang menyertainya untuk betul-betul melindungi hak azasi manusia sebagaimana dirumuskan Diktum Menimbang KUHAP huruf ( c ).

6.    Bahwa frasa “hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang” pada Pasal 82 Ayat (1) huruf (b) tidak ditemukan dalam HIR maupun Hukum Acara Pidana dalam persidangan pokok perkara. Hakim disini jelas harus bersifat sangat aktif, bukan aktif pasif seperti dalam persidangan pokok perkara pidana atau pasif seperti persidangan perdata. Hal ini tentunya dimaksudkan Hakim harus menggali sedalam-dalamnya dalam Praperadilan untuk menentukan apakah Penyidik atau Penuntut telah menjalankan tugasnya demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran. Hanya dalam Praperadilan Hakim mendengar keterangan Pemohon sebagai saksi, yang mana hal ini tidak mungkin ditemukan dalam persidangan pokok perkara Pidana maupun Perdata. Hakim berkedudukan sangat tinggi dalam system Praperadilan karena ditangannyalah selakuPengawasHorizontal  untuk memastikan Penyidik atau Penuntut menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran serta sesuai HAM;
7.    Bahwa tujuan Praperadilan adalah sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 80 KUHAP berbunyi : “Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.” Bukan bermaksud menggurui, jika terjadi ketidakpastian hukum dan ketidak-adilan bagi Korban Korupsi Seluruh rakyat NKRI dengan berlarut-larutnya penanganan perkara korupsi a quo, maka atas dasar kewenangannya maka Hakim dalam memberikan putusan Praperadilan  tidak semata-mata atas formalitas dan kepastian hukum,  tetapi Hakim  harus memutus Praperadilan aquo demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran dengan mengabulkan seluruh Petitum Permohonan Praperadilan dalam perkara aquo. Mohon diijinkan Pemohon merasakan hukum tegak, keadilan dan kebenaran ;
II.    TENTANG HAK DAN KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON
1.    Bahwa berdasar Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, Praperadilan terhadap tidak sahnya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan dapat diajukan oleh Penyidik/Penuntut dan Pihak Ketiga Berkepentingan.

2.    Bahwa siapa yang dimaksud dengan frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam pasal 80 KUHAP, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada perkara nomor 98/PUU-X/2012 yang diucapkan tanggal 21 Mei 2013 dimana Pemohonnya adalah Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dalam amar putusannya  menyatakan :
Mengabulkan permohonan Pemohon;
1.1.     Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
1.2.     Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;

Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas, maka Pemohon memiliki kualifikasi secara hukum untuk bertindak sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan Permohonan Praperadilan  a quo.

III.    DALIL PENGHENTIAN PENYIDIKAN SECARA MATERIEL DAN DIAM-DIAM
1.    Bahwa Pasal 1 butir 10 point b, UU NO. 8 Tahun 1981 Kitab undang¬ Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan "Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan";

2.    Bahwa Pasal 77 huruf a UU NO. 8 Tahun 1981 Kitab undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan "pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan";

3.    Bahwa tidak sahnya Penghentian Penyidikan dalam permohonan aquo adalah permohonan pemeriksaan tidak sahnya penghentian penyidikan secara materiil ;

4.    Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak secara tegas menyebutkan bentuk penghentian penyidikan harus berupa Surat Penghentian Penyidikan. Ini berbeda dengan penghentian penuntutan yang ditegaskan dalam pasal 140 ayat (2) huruf a menyatakan penghentian penuntutan dituangkan dalam surat ketetapan.


5.    Bahwa berdasarkan pasal 1 angka 2 KUHAP, Penyidikan didefinisikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

6.    Bahwa dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP, memang diatur bahwa jika penyidik menghentikan penyidikan, maka wajib memberitahu penuntut umum dan tersangka atau keluarganya.
Namun, dalam prakteknya, penyidik jarang menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan khawatir korban/pelapor akan melakukan pra peradilan. Akibatnya, tak jarang penyidik mendiamkan perkara hingga perkara tersebut tidak dapat diproses karena terjadi daluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam pasal 78-80 KUHP.  
Kalaupun penyidik melakukan pelimpahan berkas perkara, terjadi pelimpahan bolak balik yang tak kunjung selesai antara penyidik dengan jaksa peneliti berkas, karena penyidik enggan atau tidak melaksanakan petunjuk yang diberikan jaksa agar berkas dapat dinyatakan lengkap sebagai dasar menyusun dakwaan ataupun Jaksa memberi petunjuk subyektif yang sulit dipenuhi oleh Penyidik;

7.    Bahwa karena tidak terdapat panduan baku dalam KUHAP dan rawan terjadi penyimpangan di dalam pelaksanaannya, maka beberapa hakim melakukan terobosan dengan melakukan penafsiran atas perbuatan-perbuatan penyidik yang dikategorikan sebagai bentuk penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam frasa “penghentian penyidikan” dalam KUHAP, melalui beberapa putusan pengadilan, yaitu :
a.    Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor : 01/PID/PRA 2008/PN TK;
b.    Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo No. 04/Pid.Pra/2007/PN.Skh;
c.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 04/PID.PRAP/2010/PN.JKT.PST  dengan Pemohon Muspani (mantan DPD)  melawan Jaksa Agung RI dalam perkara Penghentian Penyidikan Tidak Sah kasus dugaan tindak pidana korupsi dengan Tersangka Mantan Gubernur Bengkulu Agusrin Nazamudin;
d.    Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor : 01/PRA/2014/PN. Byl yang diputuskan tanggal 05 Desember 2014 dan diucapkan tanggal 08 Desember 2014;
e.    Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN. Jkt. Sel yang diputuskan tanggal 9 April 2018;
8.    Bahwa dalam Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor : 01/PRA/2014/PN.Byl yang diputuskan tanggal 05 Desember 2014 dan diucapkan tanggal 08 Desember 2014, pada halaman 25 dijelaskan :
“Menimbang, bahwa dengan adanya tindakan Termohon I tersebut telah membuat perkara in casu menjadi menggantung yang berlangsung selama bertahun-tahun mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap perkara tersebut.
Menimbang bahwa Termohon I merupakan organ yang melaksanakan tugas jalannya penegakan hukum sehingga didalam melaksanakan tugasnya sebagai aparat hukum tidak boleh menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap suatu perkara.
Menimbang, bahwa oleh karena Praperadilan merupakan fungsi control tehadap jalannya penyidikan dan untuk adanya kepastian hukum terhadap perkara a quo maka terhadap perkara a quo Hakim berpendapat walaupun secara formil Termohon I tidak mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan terhadap perkara a quo namun secara materiil tindakan Termohon I yang tidak menindaklanjuti proses penyidikan selama bertahun-tahun dapat dikatakan tindakan Termohon I tersebut dipersamakan dengan Termohon I telah melakukan Penghentian Penyidikan Terhadap Perkara a quo.
Menimbang, bahwa oleh karena hakim berpendapat tindakan Termohon I yang telah lama tidak menindaklanjuti proses penyidikan terhadap perkara a quo merupakan tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindakan penghentian penyidikan yang tidak sah maka pengadilan memerintahkan.........”

9.    Bahwa selain itu, berdasar Pasal 25 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penanganan perkara korupsi harus didahulukan dan diutamakan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya, sedangkan Para Termohon  telah melakukan Penyidikan dan Penuntutan  Perkara Korupsi, maka berlaku ketentuan ini. Ketentuan ini menunjukkan bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi seharusnya mendapatkan perhatian lebih dibandingkan penanganan perkara tindak pidana lain.   

10.    Bahwa berlarut-larutnya penanganan suatu perkara dugaan korupsi telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga harus dilakukan upaya hukum pemaknaan secara diperluas sebagai bentuk penghentian penyidikan materiel dikarenakan bertentangan dengan azas dan
A.     Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diamandemen dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengharuskan tentang pelaksanan penegakan hukum itu untuk memedomani asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta tidak berbelit-belit. Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum merupakan pelanggaran terhadap HAM;
B.  Pasal 9 ayat (3) International Convenant on Civil and political Right (ICCPR) tahun 1966 yang menyatakan bahwa pemeriksaan harus dilaksanakan sesegera mungkin.
C.   Pasal 50 KUHAP
(1)    Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
(2)    Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
(3)    Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

IV.    DALIL TIDAK SAHNYA PENGHENTIAN PENYIDIKAN SECARA MATERIIL
1.    Bahwa Termohon I  pada tanggal 31 September 2017  telah melakukan  penyidikan dan penanganan perkara dugaan kasus korupsi tunjangan perumahan pimpinan dan anggota DPRD Natuna tahun 2011-2015 senilai Rp7,7 miliar dan telah menetapkan lima orang tersangka yaitu mantan Bupati Natuna, Raja Amirullah dan Ilyas Sabli, Ketua DPRD Natuna periode 2009 – 2014, Hadi Chandra, Sekda Kabupaten Natuna periode 2011-2016 yakni Syamsurizon yang juga pernah menjabat sebagai Ketua tim TAPD serta Makmur, selaku Sekretaris Dewan (Sekwan) Natuna periode 2009-2012.
-    https://batamtoday.com/home/read/94907/Kejati-Kepri-Tetapkan-Lima-Tersangka-Korupsi-Tunjangan-Perumahan-DPRD-Natuna
2.    Bahwa Termohon I melakukan penetapan kelima tersangka tersebut, setelah tim penyidik tindak pidana khusus (Pidsus) di bawah pimpinan Kepala Kejati Yunan Harjaka SH MH saat itu, menyebutkan telah menemukan adanya alat bukti yang cukup dalam proses pengalokasian dan pencairan dana tunjangan perumahan unsur pimpinan dan anggota DPRD Natuna sejak 2011-2015 saat itu. Pemberian tunjangan perumahaan pimpinan dan anggota DPRD Natuna itu dialokasikan dari APBD Natuna sejak 2011-2015, tanpa menggunakan mekanisme aturan serta tidak sesuai dengan harga pasar setempat. Sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp7,7 miliar. Adapun besaran tunjangan perumahaan yang diperoleh unsur pimpinan, yakni Ketua DPRD Natuna Rp14 juta per bulan, Wakil Ketua DPRD Rp13 juta per bulan dan Anggota DPRD Natuna masing-masing Rp12 juta per bulan. Hal itu dilabeli dengan SK dua Bupati Natuna saat itu atas suruhan Ketua DPRD Natuna.  Perbuatan para tersangka diduga telah merugikan keuangan negara, sehingga dapat dijerat tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 2 ayat (1), jo Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
-    https://batamtoday.com/home/read/94911/Ini-Modus-dan-Peran-Lima-Tersangka-Korupsi-Tunjangan-Perumahan-DPRD-Natuna
3.    Bahwa berdasar Informasi yang diperoleh, penyidikan dugaan kasus korupsi  tunjangan perumahan pimpinan dan anggota DPRD Natuna tahun 2011-2015  hampir rampung dan tim penyidik Pidsus Kejati Kepri tahun 2018  dikabarkan tengah menyusun pemberkasannya saja lagi ( alenia ke 13 pemberitaan media link : https://haluankepri.com/2019/07/23/menggantung-kasus-korupsi-perumahan-dprd-natuna-kejati-beralasan-masih-menghitung-kerugian-negara/ )
-    https://haluankepri.com/2019/07/23/menggantung-kasus-korupsi-perumahan-dprd-natuna-kejati-beralasan-masih-menghitung-kerugian-negara/
4.    Bahwa namun hingga kini, proses penyidikan kasus tersebut tidak ada kejelasannya, Penyidik pada Termohon I tidak melimpahkan berkas perkara korupsi aquo kepada Jaksa Penuntut Umum pada Termohon I padahal Penyidik dan Penuntut berada dalam satu atap , dan terkesan jalan di tempat diduga ada orang kuat di lingkungan kejaksaan yang sengaja menahan kasus tersebut, sehingga tidak berlanjut hingga ke pengadilan.
-    https://www.hariankepri.com/3-ketua-nasdem-di-kepri-berurusan-dengan-hukum-dpw-kami-tetap-solid/
-    http://suarasiber.com/2019/07/kejati-kepri-akhirnya-tangani-dugaan-korupsi-pembangunan-rumah-dinas-dprd-natuna/
5.    Bahwa Termohon I melalui pernyataan Kepala Kejati Kepri saat ini, Edy Birton SH MH dalam beberapa kesempatan memberikan indikasi  berkehendak menghentikan penyidikan atau setidak-tidaknya tidak akan melanjutkan penanganan perkara korupsi Tunjangan Perumahan DPRD Natuna dengan alasan bahwa penanganan perkara korupsi itu tidak hanya menghukum tetapi yang paling terpenting pengembalian aset dan keuangan negara. “Kami sudah melakukan langkah-langkah, karena korupsi itukan tidak hanya menghukum, tetapi yang terpenting adalah mengembalikan kerugian negara (asset recovery),” kata Edy Birton saat ditemui sejumlah wartawan usai pelaksanaan upacara memperingati Hari Bhakti Adhiyaksa ke 59 di lapangan Kejati Kepri, Senin (22/7). Pernyataan ini jelas salah dan tidak berdasar serta melanggar ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang intinya menyatakan pengembalian uang kerugian negara tidak menghapus tindak pidana korupsi
-    https://prioritas.co.id/2019/06/14/jurus-pamungkas-ala-sp3-terkait-kasus-korupsi-tunjangan-perumahan-dprd-natuna/
-    https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/03/02/p4xbi0354-pakar-pengembalian-kerugian-negara-tak-hapus-unsur-pidana
-    https://tanjungpinang.bpk.go.id/?p=6236
6.    Bahwa  Penyidik pada Termohon I meskipun telah selesai melakukan penyidikan, namun hingga kini Penyidik belum melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum  pada Termohon I padahal penyidikan perkara aquo telah selesai, sehingga tindakan tidak melimpahkan berkas perkara dari Penyidik kepada Penuntut Umum adalah perbuatan Penghentian Penyidikan materiel secara tidak sah dan melawan hukum :

7.    Bahwa Termohon II telah membiarkan Termohon I melakukan penghentian penyidikan secara materiel sehingga tindakan TERMOHON II haruslah dikategorikan bersama-sama atau turut serta dengan  TERMOHON I melakukan penghentian penyidikan secara materiel. Tindakan Termohon II  jelas dan nyata bertentangan dengan asas-asas dalam Pasal 5 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berbunyi sebagai berikut :
“Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada :
a.    kepastian hukum;
b.    keterbukaan;
c.    akuntabilitas;
d.    kepentingan umum; dan
e.    proporsionalitas.”

8.    Bahwa merujuk dalam Pasal 6  UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berbunyi sebagai berikut:
“Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
b.    koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.    supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
d.    melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
e.    melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
f.    melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara”.

9.    Pasal 7  UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
a.    mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b.    menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.    meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
d.    melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e.    meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi”

10.    Bahwa berpijak pada ketentuan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, jelas dan nyata TERMOHON II tidak melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan yang diatur dalam undang-undang tersebut, sehingga jelas dan nyata bentuk tindakan dimaksud merupakan tindakan turut serta melakukan penghentian penyidikan yang tidak sah.

11.    Bahwa TERMOHON I dan II  tidak segera menuntaskan  Penyidikan dengan dalil tidak ada batas waktu Penyidikan, namun hal ini haruslah disinkronkan dengan ketentuan Pasal 78 KUHP tentang Daluarsa, sehingga upaya mengulur-ulur waktu haruslah dimaknai Termohon akan menunggu daluarsa sehingga perkara secara otomatis berhenti penyidikannya sebagaimana ketentuan pasal 109 ayat 2 KUHAP;

12.    Bahwa berdasar Pasal 25 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, penanganan perkara korupsi harus didahulukan dan diutamakan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya, namun dalam perkara korupsi aquo Para Termohon secara bersama sama atau turut serta telah melakukan penghentian penyidikan materiel secara tidak sah dan melawan hukum ;

13.    Bahwa dalam penanganan perkara Korupsi aquo yang berlarut-larut, maka PARA TERMOHON juga telah melanggar :
a.    Pasal 9 ayat (3) International Convenant on Civil and political Right (ICCPR) tahun 1966 yang menyatakan bahwa pemeriksaan harus dilaksanakan sesegera mungkin;
b.    Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diamandemen dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengharuskan tentang pelaksanan penegakan hukum itu untuk memedomani asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta tidak berbelit-belit. Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum yang berbelit-belit dan merupakan pelanggaran tershadap HAM;

c.    Pasal 102, 106 dan khususnya Pasal 50 KUHAP yang benbunyi:
-    Ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan ke penuntut umum”;
-    Ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum”; dan
-    Ayat (3) KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan”.

14.    Bahwa untuk mengatasi ketidakpastian dan berlarut-larutnya penanganan Korupsi aquo diperlukan recht finding (penemuan hukum) dalam rangka mengisi kekosongan hukum atas kebuntuan penanganan perkara Korupsi aquo oleh TERMOHON I dalam bentuk Hakim mengabulkan permohonan praperadilan aquo dan  Perintah Hakim kepada  TERMOHON I untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana Korupsi aquo dalam bentuk Penyidik Termohon I melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Termohon I dan melanjutkan dengan Pendakwaan dan Penuntutan proses persidangan di Pengadilan Tipikor Tanjung Pinang ;

15.    Bahwa oleh karena Penghentian Penyidikan atas atas perkara  a quo adalah tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya, maka selanjutnya TERMOHON I diperintahkan untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketetentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bentuk Penyidik Termohon I melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Termohon I dan melanjutkan dengan Pendakwaan dan Penuntutan proses persidangan di Pengadilan Tipikor Tanjung Pinang  ;


16.    Bahwa oleh karena Penghentian Penyidikan atas atas perkara  a quo adalah tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya, maka selanjutnya TERMOHON II diperintahkan untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketetentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu mengambil alih berkas perkara aquo dari TERMOHON I untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor;

17.    Bahwa Turut Termohon I berkewajiban melakukan audit penggunaan keuangan negara dan apabila ditemukan tindak pidana korupsi berkewajiban melaporkan kepada aparat penegak hukum untuk dilakukan proses penyidikan dan penuntutan hukum, namun realitasnya Turut Termohon I  telah membiarkan atau setidak-tidaknya tidak melakukan audit terhadap pencairan dana tunjangan perumahan DPRD Natuna tahun 2011-2015 sehingga patutlah sekiranya Turut Termohon I secara bersama-sama atau turut serta atau membantu Termohon I melakukan penghentian penyidikan materiel dalam penanganan perkara korupsi aquo;

18.    Bahwa Turut Termohon II berkewajiban melakukan Perhitungan Kerugian Negara atas permintaan Termohon I , namun realitasnya Turut Termohon II tidak segera menyelesaikan kewajibannya melakukan audit Perhitungan Kerugian Negara perkara korupsi aquo sehingga patutlah sekiranya Turut Termohon II secara bersama-sama atau turut serta atau membantu Termohon I melakukan penghentian penyidikan materiel dalam penanganan perkara korupsi aquo;

19.    Bahwa atas kesalahan Turut Termohon I dan Turut Termohon II turut serta melakukan penghentian penyidikan secara materiel maka sudah semestinya diperintahkan untuk membantu secara cepat, tepat  dan profesional kepada Termohon I dan Termohon II menuntaskan penyeelesaian penanganan perkara korupsi aquo;

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, PEMOHON memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Pinang  berkenan memeriksa dan memutus :

P R I M A I R :

1)    Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan ini untuk seluruhnya;
2)    Menyatakan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang  berwenang memeriksa dan memutus permohonan aquo ;
3)    Menyatakan PEMOHON sah dan berdasar hukum sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan praperadilan atas perkara a quo.
4)    Menyatakan secara hukum PARA TERMOHON telah melakukan tindakan PENGHENTIAN PENYIDIKAN secara materiel dan diam – diam yang tidak sah menurut hukum, berupa tindakan tidak melanjutkan proses perkara korupsi tunjangan perumahan pimpinan dan anggota DPRD Natuna tahun 2011-2015 sesuai tahapan KUHAP , UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dan UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK ;
5)    Memerintahkan  TERMOHON  I melakukan proses hukum selanjutnya sebagaimana diatur dalam KUHAP berupa melakukan pelimpahan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Tanjung Pinang ;
6)    Memerintahkan  TERMOHON  II melakukan proses hukum selanjutnya sebagaimana diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi berupa melakukan pengambil-alihan penanganan perkara korupsi  aquo dari TERMOHON I;
7)    Memerintahkan Para Turut Termohon untuk mematuhi Putusan Praperadilan Perkara ini dalam bentuk membantu secara cepat, tepat  dan profesional kepada Termohon I dan Termohon II untuk menuntaskan penyeelesaian penanganan perkara korupsi aquo;

S U B S I D A I R :
Memeriksa dan mengadili Permohonan Pemeriksaan Pra Peradilan ini dengan seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (Ex aequo et bono).

Hormat Kami;

PEMOHON

 

 

BOYAMIN bin SAIMAN                        KOMARYONO,SH

 

Pihak Dipublikasikan Ya